Nonton Film Betty bencong slebor Part 1 (1978) Streaming Movie Sub Indo
Nonton Betty Bencong Slebor – Beberapa bulan yang lalu, seorang teman melaporkan situasi yang menurutnya menarik. Teman saya mengikuti diskusi seni rupa di daerah Jogja Selatan. Dalam grup Whats App, ia berkata bahwa pemateri diskusi memilih menggunakan kata ‘we’ untuk mengganti ‘he’ or ‘she’. Pemateri yang berasal dari benua Amerika ini, menurut saya, sadar dengan pemilihan kata sebagai pernyataan politis. Apa yang dia tuju? Bisa jadi perihal kesetaraan gender. Lalu apa hubungannya dengan Betty Bencong Slebor?
Saya pun tergelitik. Mengetik kata kunci “we”, “he”, “she”, dan “gender equality” di mesin pencari Google. Saya kemudian dibimbing ke beberapa artikel. Bila dibandingkan dengan bahasa Perancis dan Jerman yang mengenal nomina maskulin dan feminin, bahasa Inggris sendiri tidak terlalu bias gender. Namun proses perubahan bahasa Inggris menjadi bebas bias gender sendiri berlangsung perlahan. Kita bahkan bisa menemuinya dalam keseharian.
Download Film Betty bencong slebor Part 1 (1978) Streaming Movie Sub Indo
Nonton Betty Bencong Slebor – Kalau ditelusuri, proses ini masih berkaitan dengan gerakan feminisme yang dengan gigih menyuarakan kesetaraan gender. Dalam artikel dari The Conversation misalnya, Lewis Davis dan Astghik Mavisakalyan menyarankan untuk menggunakan ‘they’ di tempat kerja, karena penggunaan ‘he’ dan ‘she’ di tempat kerja membuat jurang ketidaksetaraan semakin lebar. Mengutip kolom dari Steve Gardiner di PBS News Hour, American Dialect Society di Washington, D.C., sudah mengesahkan bahwa ‘they’ bisa diterima ketika digunakan sebagai kata ganti orang ketiga tunggal yang bebas bias gender. Tentu ini menjadi angin segar bagi penutur bahasa Inggris yang juga mengusung kesetaraan gender.
Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Uraian dari Katrin Bandel, dosen IRB Sanata Dharma Yogyakarta, dalam “Apakah Bahasa Indonesia itu Seksis” setidaknya bisa memberikan gambaran mengenai kekuatan Bahasa Indonesia yang bebas bias gender (gender neutral). Katrin memberi contoh dari nomina dalam bahasa Indonesia yang tidak bergender seperti ‘seniman’ hingga ‘penulis’, ‘buruh’, ‘direktur’, ‘tukang jahit’, hingga ‘presiden’. Dalam esai tersebut, Katrin menggugat penggunaan kata ‘perempuan pengarang’ yang justru membuat bahasa Indonesia menjadi seksis. Katrin juga menambahkan bahwa semestinya kita bisa memanfaatkan kekuatan dari bahasa Indonesia dan menjaga sifat bebas bias gendernya.